LET’S GO GREEN



Cerita ini adalah cerita ke-2 yang saya buat setelah Motivasi Seorang Ibu  SELAMAT MEMBACA!! ^0^b

            Pagi yang cukup cerah, mengawali segala aktivitas makhluk hidup, khususnya manusia. Angin sepoi-sepoi membawa dedaunan yang sudah kering berjatuhan. Terdengar seorang anak sedang bergegas untuk berangkat sekolah.

“Bu, aku berangkat sekolah dulu, ya!”
            “Sudah sarapan tho, le?”

            “Sudah, Bu. Assalamu’alaikum.”

            Wa’alaikumsalam

            Hasan pun berangkat dengan sepedanya. Ibu Hasan keluar dapur untuk menghantarkan keberangkatan Hasan. Dilihatnya, hanya ada sepiring makanan di meja makan. Itu sarapan Hasan. Ibu hanya tersenyum.

            “Kau masih sempat-sempatnya menahan laparmu hanya untuk adikmu, hanya untuk keluargamu. Aku bangga terhadapmu, Nak. Dan kau mempunyai masa depan yang sangat indah, ibu tau itu.” Kata Ibu dalam hati.

            Adik Hasan yang berumur 6 tahun juga mau berangkat sekolah. “Ibu, aku berangkat ya!”

            Nduk, sarapan dulu, gih. Baru nanti Ibu anter berangkat sekolah”
            “Ya, Bu”

            Keluarga Hasan bisa dibilang keluarga yang miskin. Ayahnya sudah lama meninggal karena sakit paru-paru. Jika hari minggu, Hasan sering membantu ibunya berjualan di pasar. Pendapatan ibunya pun sangat sedikit. Sampai hari ini, Hasan rela tidak sarapan untuk adiknya, yang berselisih umur dengannya 7 tahun. Hasan kelak akan menjadi pemimpin yang selalu peduli dengan rakyatnya, atau mungkin mempunyai rasa cinta pada sekitarnya, pikir ibu Hasan. Impian ibu Hasan akhirnya terwujud. Hasan sangat peduli dengan lingkungan sekitarnya. Jika dia melihat sampah, dia bertekad untuk ingin membuangnya. Walaupun dia tidak mempunyai banyak waktu, dia tidak kekurangan akal. Dia mengajak warga-warga sekitar untuk membuang sampah bersama di tempatnya. Setelah selesai, baru dia bisa melanjutkan aktivitasnya. Tidak jarang juga dia mengingatkan orang sekitar yang seenaknya membuang sampah sembarangan, bahwa akibat buruk yang terjadi akibat membuang sampah tidak pada tempatnya.

 Masya’allah, sepuluh menit lagi pelajaran dimulai, nih. Gawat!”

Hasan mengayuh sepedanya dengan kencang. Karena masih pagi, jalanan cukup sepi. Hasan bisa bebas mengayuh sepedanya sekencang apapun. Di lampu merah, Hasan menemui sahabat karibnya, Johan,  sejak mereka duduk di kelas 4 SD.

            “Bagaimana pagimu, San?”
            “Ada anak kecil buang sembarangan, nih. Kalau kamu gimana, Han?”
            “Ya seperti biasa, banyak sampah plastik berkeliaran dimana-mana. E-e-eh, dah hijau tuh lampunya. Go fighting!!”
            Go fighting!!” kata Hasan mengulangi. Mereka pun terus-menerus mengayuh sepedanya dengan kencang. Sampai di gerbang..
            “Huft, lebih cepat 3 menit dari perkiraanku”

            “Capek, yah.” Nafas berat keluar dari mulut mereka. Setelah memasuki gerbang, mereka menemui Pak Dono, salah satu Satpam sekolah Hasan.
            “Selamat pagi, Pak Dono!!” salam kami bersamaan

            “Pagi. Cepet masuk sana. Aku lihat Bu Fatimah udah mau masuk kelasmu. Oh ya..” Saat Pak Dono menoleh ke arah mereka, mereka sudah menghilang.

            “Permisi…permisi ya..eh, maaf..permisi” Begitu cepat mereka meliuk-liuk diantara banyak kerumunan siswa-siswa. Saat berada 20 m dari kelasnya, Bu Fatimah sudah ada 5 m dari kelas. Dia menoleh ke arah Hasan dan Johan yang sedang berlari. Dia hanya menggeleng.
            “Maaf, Bu. Kami terlambat lagi. Insya’allah kami tidak akan mengulanginya, Bu.”

            “Ibu tahu kenapa kalian terlambat. Jika kamu masih terlambat lagi, jangan mengucapkan kata Insya’allah lagi. Mengerti?”

            Sedikit agak kebingungan, Hasan menjawab dengan ragu-ragu. “Ba…baik Bu”

            Mereka akhirnya masuk kelas dengan kepala menunduk.





            Sore hari setelah mandi, Hasan pergi ke halaman rumahnya dan menyapu halaman. Setiap hari memang banyak warga yang melihat Hasan menyapu, dan tidak jarang juga mereka ikut membantu menyapu halaman rumah mereka masing-masing. Lama-kelamaan, aktivitas kampung Hasan berubah. Setiap sore mereka selalu membersihkan sekeliling kampung, seperti menyapu. Dan jika hari Minggu, warga-warga, dari anak kecil sampai orang dewasa, mengikuti kerja bakti bersama, seperti membersihkan jamban, membuang sampah yang berserakan di jalan atau di sungai, menanam tumbuhan segar nan hijau, dan lain sebagainya. Kata para warga, semua ini berkat tumbuhnya anak yang mampu merubah kampung itu menjadi bersih dan indah, tidak lain yaitu Hasan.

Di Kampung Johan, juga tidak kalah hebatnya. Kampung mereka memberikan penghargaan atas Johan yang mampu mengubah sikap para warga untuk selalu mencintai lingkungan mereka. Harapan Hasan dan Johan adalah, “Jika kita dapat menghijaukan bumi ini, maka bumi juga akan menghijaukan jiwa kita”. Dan pekerjaan merekapun tidak sia-sia.





            “Jadi, kesimpulan dari acara pagi hari ini adalah, sesungguhnya manusia & lingkungannya itu mempunyai hubungan timbal-balik yang begitu erat, layaknya kita bercermin. Jika kita menyakiti atau merusak lingkungan kita, maka lingkungan kitapun akan mencerminkan sifat kita tersebut. Terimakasih”

            Tepuk tangan yang meriah langsung memenuhi kelas Hasan dan Johan. Mereka diberi tugas untuk mempresentasikan tugas yang berhubungan dengan Alam. Tidak hanya kebersihan lingkungan yang mereka bicarakan, tetapi juga ilmunya yang bertambah tentang maraknya Global Warming menuntun mereka untuk membicarakan dan mengatasi hal tersebut. Berbagai upaya telah dikerahkan oleh klub yang Hasan buat & ketuai, yaitu Klub ‘Hijaukan Bumi Ini!’, untuk mencegah dan mengurangi polusi udara. Tapi banyak juga yang kontra akan pelaksanaan tugas tersebut, yaitu mengganggu jadwal sekolah, selalu dimarahi orang tua, tidak mendapatkan upah, dan hal lain yang akhirnya membuat Klub tersebut dibubarkan. Sungguh lelahnya Hasan & Johan membuat orang sadar akan pentingnya penghijauan di bumi ini

            “Sampai sinikah perjuangan kita, San?” Tanya Johan menyerah sambil bersandar di kursi kelas

            “Nggak bisa, Han. Kita masih bisa melakukannya. Walau dengan tangan kita sendiri.”

            “Aku akan membantu kalian!” Hasan dan Johan menoleh. Siska, teman sekelas mereka yang cukup pendiam dan pintar, tiba-tiba mengubah suasana menjadi penuh keheranan.
            “Siska!?” Johan terheran-heran.

            “Kenapa, kaget? Aku ingin mempunyai banyak teman seperti kalian. Mungkin dengan mengikuti klub ini, aku bisa bergaul dengan teman-teman yang lain dan, tentunya membuat impian klub ini menjadi kenyataan.”

“Kami akan menerimamu dengan senang hati, betulkan, Han!?” Tanya Hasan girang.
“I-i..iya. Dengan senang hati..” Johan tetap heran.

“Trimakasih..aku ingin membuktikan pada mereka aku, ehm..maksudku kami dapat membuat klub ini sukses.”

            “Kalau begitu, kita harus membuat nama klub baru, dan visi-misi klub yang baru. Dan semoga aja pengalaman dulu tak terulang kembali.” Kata Hasan semakin semangat.
            “LET’S GO GREEN! Itu nama yang keren untuk klub kita!” Johan memberi usul.
            “Boleh juga! Aku sudah memikirkan rencana awal nih, buat klub kita!” Siska menjawab.

            “Gimana?”
            Akhirnya istirahat mereka diganti dengan keseriusan membuat rencana demi rencana, agar klubnya bisa berhasil kembali menyadarkan dunia pentingnya kebersihan lingkungan bagi kehidupan..




            Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun, klub yang telah diberi nama ‘LET’S GO GREEN’ telah meraup banyak anggota, dari kalangan anak SD sampai teman-teman SMA-nya. Walaupun Hasan, Johan, dan Siska telah berbeda sekolah, tetapi mereka sering berkumpul untuk membahas bersama kelanjutan dari Klub LET’S GO GREEN tersebut. Hari ini, mereka sepakat untuk membahasnya di rumah Siska.

            “Sis, bagaimana laporan minggu ini?”

            “Ehm, sebentar” dia membuka tasnya dan mengambil sebuah buku kecil untuk mencatat apa-apa saja yang terjadi selama klub itu berdiri, “Jumlah anggota minggu ini mencapai 529 anggota, 0 anggota yang keluar, dan..” tiba-tiba saja Johan menyela.
            “Hey!!Ada sekelebat ide tertangkap di otakku, guys!”

            “Apaan sih?!” Tanya wanita berkacamata itu sedikit sebal karena pembicaraannya dipotong.
            “Gimana kalau kita memanfaatkan jejaring sosial di internet untuk mengiklankan klub kita ini, biar anggota klub kita semakin bertambah! Dan tentu saja, semakin banyak anggota, semakin banyak orang yang sadar akan pentingnya kebersihan lingkungan bagi kehidupan. Setuju, nggak?”

            “Betul juga! Kenapa gak kepikiran sedari dulu, ya!”

            “Kalau gitu, aku ambilin laptopku dulu, ya!”

            Kerja keras mereka akhirnya membuahkan hasil. Dalam seminggu, grup mereka di jejaring sosial seperi facebook, twitter, dan lain sebagainya beranggotakan 1000 orang. Akhirnya, saat liburan, mereka bertiga membuat acara perkumpulan anggota klub LET’S GO GREEN di Alon-Alon kota. Setelah semua berkumpul, anggota klub di bagi menjadi 3 kelompok. Hasan, Johan, & Siska memberikan masing-masing penyuluhan di tiap kelompok. Mereka sudah sangat fasih menyampaikan penyuluhan tersebut. Tapi, saat semua kelelahan, anggota klub yang berasal dari kota-kota lain mengeluh karena tidak adanya konsumsi. Kebingungan juga tiga sekawan itu harus berbuat apa. Tidak mungkin jika semua konsumsi ditanggung mereka bertiga, karena jumlah anggota yang datang sebanyak 110 orang! Setelah semua anggota klub kecapekan, tanpa disadari ada seseorang yang muncul tiba-tiba.
            “Aku bangga denga kalian, anak-anakku.” Semuapun menoleh ke arahnya begitu juga Hasan, Johan, dan Siska.

            “P..p…pa-pa..Pak Walikota!”Johan yang pertama kali berseru dengan terbata-bata.

            “Setelah diberitahu ada keramaian apa di Alon-Alon Kota, akhirnya sayapun ikut melihat. Sungguh kegiatan yang begitu mulia yang mampu dikerjakan oleh para siswa SMP seperti kalian. Beberapa saat setelah itu, saya akhirnya memutuskan untuk memberikan kalian..ehm, semacam pengganjal perut, agar tidak terlalu lapar.”

            “Kami…kami akan menerimanya dengan senang hati, Pak!” Johan menjawab. Semuapun tertawa. Tanpa panjang-lebar lagi, Pak Walikota bersama para pengawalnya memberikan sekardus makanan ringan dan minuman gelas.

            Beberapa menit kemudian setelah istirahat, Pak Walikota berniat untuk berbicara kepada Hasan.

            “Hey, nak. Siapa namamu?“

            Dengan kagetnya, Hasan langsung membenarkan posisi duduknya. “Eh, saya Hasan, Pak. Eka Surya Hasan.”

            “Apakah kamu ketua dari grup yang Hasan buat ini?”

            “Ehm, bisa dibilang begitu Pak.”

            “Rencananya, kami ingin mengundangmu untuk bepidato dalam acara rapat penghijauan kota untuk mempresentasikan bagaimana kalian bisa membuat grup ini dari awal hingga sampai pada saat ini. Mungkin ini juga bisa membantu perkembangan grup kalian ini.” Pak Walikota tersenyum.

            Hasanpun tak bisa berkata apa-apa. Sungguh ajaibnya Hasan bisa berada disina, bertemu Pak Walikota, dan diundang dalam rapatnya! Tapi, Hasan tetap berusaha tenang.

            “Bolehkah saya mengajak teman saya yang ada disana?” Sambil saya menunjuk Johan dan Siska. Pak Walikota hanya mengangguk.

            “Rapat itu akan dilaksanakan 3 hari lagi. Jadi persiapkan dirimu dan teman-temanmu sebaik mungkin, ya! Bapak tinggal dulu.” Akhirnya Pak Walikota menutup pembicaraan dan pergi. Setelah itu, Hasan langsung memanggil teman-temannya dan menceritakan semuanya. Johan dan Siska juga merasakan kekagetan yang dirasakan Hasan. Tapi mau apalagi, nasi sudah menjadi bubur. Yang ada hanyalah mereka harus mempersiapkan apa yang perlu digunakan saat presentasi, hanya dalam waktu 3 hari.





            “Terima kasih untuk semuanya, yang pertama bagi ibu saya, yang telah membimbing saya dari kecil untuk menjadi anak yang cinta lingkungan seperti sekarang, adik saya yang telah menghibur saya, teman-teman saya, Johan dan Siska, yang telah mendukung saya membuat grup LET’S GO GREEN ini, dan semua yang bisa membuat saya seperti ini. Sebelum saya menutup acara ini, saya ingin kalian bisa sadar, bahwa lingkungan adalah tempat anda bisa melakukan aktivitas di dunia ini. Jika lingkungan ini rusak, maka pastilah aktivitas anda juga akan terganggu. Maka, di setiap Anda mempunyai kesempatan bersihkanlah, hijaukanlah, dan asrikanla lingkungan sekitar Anda, dan itu akan berguna bagi masa depan Anda, dan masa depan semua makhluk hidup di dunia ini. LET’S GO GREEN!” setelah itu tepuk tangan yang meriah memenuhi ruangan. Ibu Hasan menangis terharu melihat Hasan yang masih berumur 13 tahun mampu berpidato di depan Bapak Walikota. Johan dan Siska juga tak kalah meriah bertepuk tangan di samping Hasan. Pak Walikota hanya tersenyum dan tepuk tangan. Guru-guru Hasanpun juga hadir dan tepuk tangan yang sangat meriah. Setelah turun dari panggung Hasan langusng memeluk ibunya.

            “Bu, ini semua kupersembahkan hanya untuk, Ibu. Hanya untuk Ibu.”

            “Semoga Bapakmu juga dapat bangga diatas sana, San.”

          Kamipun menangis bersama dalam pelukan. Tepuk tangan masih tetap meriah terdengar oleh Hasan. Bermula dari mencintai lingkungan, dan berakhir dengan tetap mencintai lingkungan. Lingkungan yang bersih juga dapat membuat hati, jiwa, dan pikiran kita menjadi bersih.
           
~SELESAI~

»»  READ MORE...

Motivasi Seorang Ibu


Ini adalah sebuah cerita karanganku sekitar 1 tahun yang lalu, saat aku mengikuti lomba menulis cerita. Karena saya tidak lolos, maka dari itu saya share saja cerita saya kesini. SELAMAT MEMBACA!!! ^^b

            “Ayah, kapan-kapan kita kesana lagi ya!?”
            “Iya, anakku. Apapun permintaanmu akan kuturuti.”
            “YEE!!Makasih Ayah!”
            Ibu dan Kakakku tersenyum.
Hari-hari yang kulewati selama hampir  7 tahun ini adalah hari yang menyenangkan. Selalu ada senyum tersungging di wajah kami. Dalam keadaan apapun, dimanapun, kapanpun, kami selalu menghadapinya dengan senyuman. Tapi entah bermula dari mana, hidupku mulai hancur. Aku merasa telah mati dan hidup kembali dengan keadaan yang sangat berbeda. Hanya ada satu pertanyaan hati yang terlintas padaku waktu itu,”Ada apa ini sebenarnya?”
            Malam hari, sekitar pukul 10 malam, saat itu aku masih belum bisa tidur, aku masih teringat betapa serunya bermain dengan permainan-permainan yang asyik di pameran tadi. Aku ingin mencobanya berkali-kali, berpuluh-puluh kali, sampai aku merasa puas dan lelah. Sambil memeluk gulingku, tiba-tiba saja aku mendengar tangisan ibuku di depan kamarku. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tanpa berpikir panjang, aku keluar kamarku dengan suara pelan. Ku mencoba memasang telingaku baik-baik, dan akhirnya sampailah aku di depan pintu kamar orang tuaku.
            “Maafkan aku, sayang. Aku…aku…tak sengaja”
Ibuku terisak sambil memegangi pipinya “Maaf…MAAF KATAMU!!Aku sudah tau lama berita ini, sayang. Tapi kenapa kamu tak mau jujur! Aku sudah bosan kau jadikan permainan” Menghampiri laci dan mengambil sebuah dokumen “Ini, besok kita harus ke KUA, tepat setelah kau harus bersiap pindah dari sini. Dan satu lagi, jangan pernah lagi menemui, atau menyentuh anak-anakku lagi, untuk selamanya!”
            “Tapi..tapi” masih terbata-bata dengan tangan kanan bergetar
            “Kita tidak mungkin bisa bersama, sayang. Aku ingin merasa tenang hidup di dunia ini bersama anak-anakku”
            “Aku tidak bisa meninggalkanmu dengan keadaan seperti ini, sayang. Kita tidak boleh berpisah”
            “Aku yang merasakannya, dan aku yang menanggungnya. Walaupun dengan taruhan mati”
            Mendengar kata “mati”, tanpa sadar aku meloncat kaget ke arah belakang dan menyenggol vas bunga milik ibukku yang ada di laci dekatku.
            PRAANG!
            Kedua orang tuaku terperanjat kaget dan segera keluar kamar.
            Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tiba-tiba saja ada seseorang yang menyeretku ke belakang dengan cepat.
            “Kakak, kenapa kakak ada disini?”
            “Suuut. Diamlah sebentar!”
            Saat pintu terbuka, aku dan kakakku sudah berada di kamarku. Yang ada hanyalah orang tuaku kebingungan dan mencari-cari siapa yang memecahkan vas bunga tersebut.
            Masih terdiam, aku menghampiri kasurku dan menangis. Kakakku hanya mampu melihatku dengan keprihatinan.
            “Aku tau apa yang kau rasakan, dik..Tapi kau masih belum..”
            “Dan aku juga tau apa yang kau rasakan, kak”Sahutku
            Tiba-tiba ibu membuka pintu kamarku.  Dan kamipun terdiam
            Akulah yang pertama membuka pembicaraan “Kak, Bu, pergilah. Aku ingin sendiri
sekarang” merekapun menurutiku.
            Aku merasakan semua terjadi begitu cepat. Tak ada lagi kenangan indah yang akan terukir lagi di keluarga ini, pikirku. Aku juga berpikir apakah kakakku juga bersedih seperi aku. Aku ingin kejadian ini hanyalah mimpi, mimpi terburuk dalam hidupku.


            Keesokan harinya, semua keluargaku berkumpul di depan rumah, hanya untuk menyaksikan kepergian ayahku, pergi, dan mungkin tak pernah kembali.
            Setelah mengucapkan salam perpisahan dan pergi, tiba-tiba saja ayahku berlari ke arahku dan kakakku.
            “Maafkan ayah, anakku. Ayah tak bisa mendidikmu dengan baik. Jagalah ibumu sebaik mungkin, jika sampai ayah bisa kembali lagi ke sini.”
            Entah kenapa saat itu kami begitu emosi terhadap ayahku, walaupun dalam hati ingin agar dia tidak pergi. Dan terakhir, kecupan yang hangat mendarat di kening kami.
            Ibuku hanya bisa bersedih dengan keadaan seperti ini. Aku dan kakakku yang berselisih umur 4 tahun hanya bisa berdiri terpaku, diam, & menunggu keajaiban datang. Tapi, ayahku tetap saja pergi tanpa menoleh kembali menatapku. Dan mungkin kecupan kening itu adalah kenangan indah terakhirku bersama seorang Ayah…


6 tahun kemudian…

            “Bu, aku berangkat!”
            “Gak sarapan dulu, le?”
            “Gak”
            Begitu cepatnya kakakku menghilang di balik pintu
            “Gilang!Gilang!”
            Sunyi. Tak ada jawaban.
            Aku yang duduk berseberangan dengan ibuku di meja makan, melihat ia menitikkan setetes air mata kesedihan. Dan itu sering terjadi bila kami membantah atau melawan ibu kami. Dan baru kali ini aku inginmengungapkan isi hatiku kepada ibu.
            “Ehm…bu..Ibu gak apa-apa kan?”tanyaku ragu-ragu
            Sedikit kaget ibuku mengusapkan air matanya, “eh, Gak apa-apa kok, le..dah berangkat sana, kih. Nanti telat lho”
            “Bu..”
            “Apa, le?’
            “Aku..aku…ehm, aku minta maaf ya, Bu. Kalau aku punya banyak salah ke Ibu.”
            Ibu memandangku dengan padangan heran. Dan mengalihkan pembicaraan.
            “Rendy, hidup ini memang mempunyai banyak pilihan, tetapi bagaimana kita bisa memilih pilihan yang baik untuk kita, walaupun itu tidak nyaman, bukannya memilih pilihan yang nyaman, tapi berakibat buruk bagi kita”
            Ibuku sering membuat kata-kata seperti itu dengan spontan. Hanya untuk memotivasiku, tapi kadang aku tidak tahu makna yang tersirat dalam kata-kata tersebut.
            “Tapi, Bu,...”
            “Sudah..berangkat sekolah dulu sana.Ingat, time isn’t money, but time is anything,selalu hargai waktu yang kamu punyai, walaupun itu hanya sebentar.”
            “Ya udah, Rendy berangkat dulu ya, Bu. Assalamu’alaikum!”
            Wa’alaikumsalam


            Akhir-akhir ini, aku sering memikirkan masalah-masalah yang dihadapi oleh ibuku. Sampai-sampai, aku tidak berkonsentrasi saat pelajaran di sekolah berlangsung.
            “Rendy, coba kerjakan soal ini di depan!” Kata guruku mengagetkan. Langsung saja aku terbangun dari lamunanku.
            “Rendy, ayo cepat kerjakan!”
            Dengan menyerah terpaksa aku maju dan mengerjakan soal di papan tulis sebisaku. Tiba-tiba saja, keajaiban seperti muncul padaku. Aku merasa gampang menjawab soal-soal di papan tulis mendengar penjelasan dari guruku. Setelah itu, aku kembali ke tempat dudukku. Anehnya, wajah teman-temanku seperti kebingungan melihatku. Trman sebangkupun akhirnya bertanya, “Bagaimana kau dapat mengerjakan soal sesulit itu?” Serontak aku kaget mendengar pertanyaan dari temanku. Dan aku menoleh kembali ke arah papan tulis, “Benarkah aku yang mengerjakan soal itu?”
            TET-TET-TEEET
            Bel tanda istirahat akhirnya berbunyi. Aku masih duduk terdiam dan terus memelototi ke arah papan tulis, “Bagaimana aku bisa mengerjakannya?” , “Apa yang ada di otakku saat itu?” , “Apakah aku sedang di hipnotis?”
            Seseorang memegang pundakku.
            “Rendy, maukah kamu mengikuti lomba Olimpiade tingkat kecamatan yang akan dilaksanakan besok lusa?” Tanya guruku dengan cepat dan sedikit serius
            “Ap..apa Bu!?” dengan kagetnya aku menjawab
            “Iya, kamu maukan mengikuti lomba Olimpiade itu? Aku melihat kau mempunyai, ehm, semacam bakat terpendam, dan masiih sangat terpendam” Guruku meyakinkan.
            “ehm,ee…akan kupikir-pikir dulu, Bu guru”sedikit bimbang aku menjawabnya.
            “Kalau bisa secepatnya, ya. Kita tak punya banyak waktu untuk menunggu jawabanmu.”
            “Ba..baik Bu.” Guruku langsung berbalik dan pergi. Aku masih saja kebingungan. Kenapa masalahnya semakin rumit. Hanya menjawab soal di papa tulis saja malah disuruh ikut lomba. Yah, aku belum pernah berpengalaman mengikuti event-event  seperti itu. Apalagi dalam waktu yang sangat singkat!
            TET-TET-TEET
            Tak terasa bel berbunyi lagi. Akupun tetap duduk diam melamun di kelas sampai pelajaran usai.


            Setelah menceritakan semuanya kepada ibuku, ibuku memberi motivasi lebih untukku agar semangat belajar dan selalu positive thinking. akhirnya aku bersungguh-sungguh ingin mengikuti lomba tersebut. Sampai malam hari  jam 11 aku masih belajar materi apa saja yang akan diperlombakan. Tiba-tiba kudengar sebuah suara entah dari mana. Sedikit merinding, kuberanikan untuk mengikuti asal suara tersebut. Setelah mencari-cari, dengan kagentya aku melihat sesosok bayangan hitam mengendap-endap di tangga rumahku. Aku tak berani menjerit, ataupun berlari. Aku hanya ingin saat itu aku pingsan. Tapi mataku tetap melotot ke arahnya. Sampai kulihat bayangan itu semakin jelas, aku mulai mengetahui siapa dia.
“Kak Gilang?”
“Ren..Rendy!!Kenapa kamu masih belum tidur!?” sambil menyembunyikan sesuatu di balik badannya. Merasa tidak nyaman, akhirnya aku menanyakan apa yang disembunyikan olleh kakakku.
“O..ohh, Ini, ini..ee..”
“Bukankah itu nar..”
            Kakakku membungkam mulutku. Dan akhirnya membawaku ke kamarnya. Dia menceritakan semua yang terjadi sebelum dia kembali ke rumah. Aku merasakan banyak perbedaan yang terjadi pada kakakku, selebihnnya sampai terjerumus ke bahaya narkoba. Akhirnya, ku beranikan diri untuk membuat keadaan lebih tenang dan terlihat santai.
“Kak Gilang sayang gak sama ibu?”
“Sayang dong, Ren..bercanda kamu.”
“Tapi apakah sayang kak Gilang bisa dibuktikan dengan memakai narkoba?”
“Aku..aku hanya…ingin” menunduk Kak Gilang menjawab
“Aku apa, Kak!?” nadaku sedikit memaksa.
“AKU HANYA INGIN MERASAKAN KEBEBASAN, REN! KAMU MASIH BELUM MENGERTI RASANYA KEHILANGAN AYAH SELAMA BERTAHUN-TAHUN! YANG KAU TAU HANYALAH IBU, IBU, DAN IBU!” kata kakakku emosi. Kaget juga aku mendengar perkataan kakakku. Rupanya masih ada rasa sedih yang dirasakan Kak Gilang saat kepergian ayah kami. Dengan tetap bersikap tenang, aku berusaha meyakinkan kakakku.
            “Kak, hidup ini memang mempunyai banyak pilihan, tetapi bagaimana kita bisa memilih pilihan yang baik untuk kita, walaupun itu tidak nyaman, bukannya memilih pilihan yang nyaman, tapi berakibat buruk bagi kita.” Kaget bukan main aku bisa mengucapkan kata-kata itu dengan lancar, begitu juga kakakku. Sejenak kami terdiam. Akhirnya, aku angkat bicara.
“Aku hanya ingin keluarga kita bahagia seperti dulu, Kak. Walaupun tanpa Ayah, kita harus membuktikan bahwa kita dapat berhasil tanpa kehadiran sesosok Ayah. Kau pasti mengerti maksudku kan, Kak Lang?”
“Sudah malam, Ren. Sana, tidur dulu. Jangan sampe’ terlambat ke sekolah.” Kata Kak Gilang mengalihkan pembicaraan.
“Tolong berpikir panjanglah, Kak. Ini untuk masa depanmu…Dan untuk masa depan kita.”
            Selesailah pembicaraan kami.


            Keesokan harinya, terjadi perubahan pada kakakku. Tetapi, yang ini sangat berbeda. Hari ini, Kakakku bisa lebih bangun pagi lebih awal dari sebelumnya, membantu ibuku, dan membangunkanku agar tidak terlambat masuk sekolah.Saat aku menanyakan keanehan kakakku, Kakakku hanya menjawab, “Bagaimanapun asal mulanya, semua pasti akan berakhir dengan baik”


9 tahun kemudian…

            CKIIITT!!!
Aku segera mengerem mobilku dengan cepat. Aku tak tahu kalau tiba-tiba saja ada orang di depan sana. Akhirnya, aku berniat keluar untuk minta maaf kepadanya. Sungguh tak kusangka, aku melihat sosok Ayah melekat di tubuh pemulung itu bersama seorang perempuan yang tak ku kenal.
“Pak, Bu, maaf. Saya tak sengaja hampir menabrak kalian. Sekali lagi maafkan saya”
            “Oh, gak apa-apa, le. Ini juga salah ka…”
Tiba-tiba perkataan pemulung itu berhenti saat wajah kami berhadapan, aku sangat tahu bahwa itu adalah Ayah!
“Ayah..” seruku sedikit ragu-ragu.
Bapak itu akhirnya menoleh kesamping dan berlalu. Tapi aku tak menyerah, aku tetap meyakinkan diriku bahwa itu adalah sosok wajah yang masih kuingat walaupun lama tak bertemu.
“Kau..kau Ayah kan?Ingat, Yah…Aku Rendy, Rendy!” Ku lihat berlinangan air mata telah jatuh dari mata Ayahku.
“Maafkan aku, nak. Aku bukan lagi sosok Ayah yang seperti dulu kau ingat. Aku tak bisa menjadi panutanmu. Kau tak pantas memiliki orang tua sepertiku. Tolong nak, tinggalkan aku sendirian. Pergilah..”
“Nggak, Yah. Kau punya janji kepadaku, apapun permintaanku akan kau turuti Yah..TAPI MANA!!?MANA JANJI AYAH YANG SELAMA INI HILANG!?” tak terasa setitik air mata jatuh di pipiku. Ayah hanya terdiam sambil menangis. Tak ada jawaban darinya.
“Ibu.., ibu telah meninggal 2 tahun yang lalu. Ibu divonis terkena kanker rahim. Aku tak pernah tahu sejak kapan ibu mempunyai penyakit seperti itu,dan Ibu tidak pernah bilang kepadaku.” Aku langsung teringat sesuatu. Ku ambil sesuatu dari mobilku, dan menyerahkannya pada Ayahku, “Ini, surat terakhir yang dapat kau baca dari Ibu.” Ayah dengan cepat membuka surat tersebut.
Untuk Rendy dan Gilangku sayang, dan untuk Ayah tercinta,
Maaf untuk Rendy dan Gilang, Ibu gak bisa menceritakan bahwa Ibu mempunyai penyakit ini. Ibu tak ingin jika kalian terus memikirkan Ibu, dan melupakan masa depan kalian yang begitu cerah menanti. Dan mungkin Ibu salah menulis surat ini, karena surat ini hanya mengundang kesedihan di lubuk hati kalian.
Rendy, kau telah banyak belajar hari ini. Ibu tetap ingin kau menjadi yang terbaik, walau Ibu sudah tiada nanti. Dan tetaplah ingat, time isn’t money, but time is anything, selalu hargai waktu yang kamu punyai, walaupun itu hanya sebentar..
Gilang, Ibu sangat menyukai perubahanmu. Kau mampu berubah dan belajar dari pengalaman. Dan Ibu yakin, kau juga pasti akan mempunyai masa depan yang begitu cerah.
Dan untuk Ayah, jika kau sudah kembali nanti, aku ingin kau sadar dan mengerti, bahwa aku masih sangat mencintaimu. Aku begitu emosi dan melupakan kenangan indah kita bersama. Tapi saat ini, aku ingin kau bisa menjaga anak-anak kita, dan jangan telantarkan wanita yang telah mendampingimu sekarang, ajaklah dia.
Dan kalian semua harus mengerti, keluarga itu tidaklah harus lengkap, yang terpenting adalah bagaimana keluarga itu dapat membuat kenyamanan satu sama lain, disitulah arti keluarga sebenarnya.

Salam hangat dan kecupan,

Terima kasih atas segalanya

Kami terdiam sejenak. Sungguh kagetnya aku melihat tiba-tiba Ayahku bersujud menghadapku, menangis, dan berkata, “Baiklah, anakku. Apapun permintaanmu sekarang, pasti akan kuturuti”
Sungguh iba aku melihat Ayahku bersujud menghadapku. Akhirnya, aku menariknya berdiri, dan tersenyum, “Bagaimanapun asal mulanya, semua pasti akan berakhir dengan baik”
Tanpa berpikir panjang, aku langsung memeluk erat Ayahku. Sudah lama aku tidak merasakan pelukan hangat dari Ayahku. Wanita di samping Ayah hanya bisa tersenyum dan menangis.
“Sekarang, maukah Ayah tinggal bersamaku”
“Gilang,”
            “Dia sudah mempunyai istri dan membeli rumah baru, tapi tenang, rumahnya dekat dengan rumah kita.”
“Kita?” Ayahku mengulangi.
“Iya, aku ingin Ayah bisa kembali menjadi anggota keluarga kami, dan..ehm...” aku menoleh kepada wanita yang sedari tadi menemani Ayah, “Akan kami jadikan sebagai ibu tiri kami”
Begitu tersentuhnya Ayahku sampai-sampai dia memelukku kembali. Sungguh momentyang sangat berharga dan paling indah. Dan semoga ibuku diatas sana juga dapat merasakan kebahagiaan ini…


            Saat makan malam bersama, Ayahku masih saja melamun. Aku dan Kakakku saling berpandangan.
            “Kenapa, Yah? Kangen ya?”
            Ayah hanya tersenyum. Ayah melihat sekeliling, melihat foto keluarga, dan..
            “Piala siapa saja itu?”
            “Ya jelas pialanya Rendy, dong Yah.” Aku hanya tersenyum.
            “Benarkah, Rendy?”
            “Iya, Yah. Piala yang paling kiri itu adalah piala yang paling berharga bagiku. Karena itu adalah asal mula aku mengikuti berbagai lomba, dan itu kupersembahkan untukmu, Ayah.”
            “Aku sangat bangga dengan Ibumu, Nak. Dia mampu membuktikan bahwa dia bisa mendidik anak-anak sendirian, dan selalu dapattersenyum di dunia ini.”
            Sementara itu, wanita yang selalu mendampingi Ayahku hanya terdiam saja, dan merasa malu. Kakakku yang berbicara pertama dengannya.
            “Maukah Ibu menjadi anggota keluarga kami?”
            Dengan terharu, beliau menjawab, “Dengan senang hati, Sayang”
            Akhirnya, kami berpelukan bersama, dan itulah awal keluarga baru kami.
            Dan aku berkata dalam hati, “Aku takkan melupakanmu, Ibu. Dan tunggu kami di yaumul qiyamat nanti..YOU ARE THE BEST MOM IN THE WORLD”



~THE END~
»»  READ MORE...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...