Cerita ini adalah cerita ke-2 yang saya buat setelah Motivasi Seorang Ibu SELAMAT MEMBACA!! ^0^b
Pagi
yang cukup cerah, mengawali segala aktivitas makhluk hidup, khususnya manusia.
Angin sepoi-sepoi membawa dedaunan yang sudah kering berjatuhan. Terdengar
seorang anak sedang bergegas untuk berangkat sekolah.
“Bu, aku berangkat sekolah dulu, ya!”
“Sudah sarapan tho,
le?”
“Sudah, Bu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam”
Hasan
pun berangkat dengan sepedanya. Ibu Hasan keluar dapur untuk menghantarkan
keberangkatan Hasan. Dilihatnya, hanya ada sepiring makanan di meja makan. Itu
sarapan Hasan. Ibu hanya tersenyum.
“Kau
masih sempat-sempatnya menahan laparmu hanya untuk adikmu, hanya untuk
keluargamu. Aku bangga terhadapmu, Nak. Dan kau mempunyai masa depan yang
sangat indah, ibu tau itu.” Kata Ibu dalam hati.
Adik Hasan yang berumur 6 tahun juga
mau berangkat sekolah. “Ibu, aku berangkat ya!”
“Nduk,
sarapan dulu, gih. Baru nanti Ibu
anter berangkat sekolah”
“Ya, Bu”
Keluarga
Hasan bisa dibilang keluarga yang miskin. Ayahnya sudah lama meninggal karena
sakit paru-paru. Jika hari minggu, Hasan sering membantu ibunya berjualan di
pasar. Pendapatan ibunya pun sangat sedikit. Sampai hari ini, Hasan rela tidak
sarapan untuk adiknya, yang berselisih umur dengannya 7 tahun. Hasan kelak akan
menjadi pemimpin yang selalu peduli dengan rakyatnya, atau mungkin mempunyai
rasa cinta pada sekitarnya, pikir ibu Hasan. Impian ibu Hasan akhirnya
terwujud. Hasan sangat peduli dengan lingkungan sekitarnya. Jika dia melihat
sampah, dia bertekad untuk ingin membuangnya. Walaupun dia tidak mempunyai
banyak waktu, dia tidak kekurangan akal. Dia mengajak warga-warga sekitar untuk
membuang sampah bersama di tempatnya. Setelah selesai, baru dia bisa
melanjutkan aktivitasnya. Tidak jarang juga dia mengingatkan orang sekitar yang
seenaknya membuang sampah sembarangan, bahwa akibat buruk yang terjadi akibat
membuang sampah tidak pada tempatnya.
“Masya’allah, sepuluh menit lagi
pelajaran dimulai, nih. Gawat!”
Hasan mengayuh sepedanya dengan kencang.
Karena masih pagi, jalanan cukup sepi. Hasan bisa bebas mengayuh sepedanya
sekencang apapun. Di lampu merah, Hasan menemui sahabat karibnya, Johan, sejak mereka duduk di kelas 4 SD.
“Bagaimana pagimu, San?”
“Ada anak kecil buang
sembarangan, nih. Kalau kamu gimana,
Han?”
“Ya seperti biasa, banyak
sampah plastik berkeliaran dimana-mana. E-e-eh, dah hijau tuh lampunya. Go fighting!!”
“Go fighting!!” kata Hasan mengulangi. Mereka pun terus-menerus
mengayuh sepedanya dengan kencang. Sampai di gerbang..
“Huft,
lebih cepat 3 menit dari perkiraanku”
“Capek, yah.” Nafas berat keluar dari mulut mereka. Setelah memasuki
gerbang, mereka menemui Pak Dono, salah satu Satpam sekolah Hasan.
“Selamat pagi, Pak Dono!!”
salam kami bersamaan
“Pagi. Cepet masuk sana. Aku lihat
Bu Fatimah udah mau masuk kelasmu. Oh ya..” Saat Pak Dono menoleh ke arah
mereka, mereka sudah menghilang.
“Permisi…permisi
ya..eh, maaf..permisi” Begitu cepat mereka meliuk-liuk diantara banyak
kerumunan siswa-siswa. Saat berada 20 m dari kelasnya, Bu Fatimah sudah ada 5 m
dari kelas. Dia menoleh ke arah Hasan dan Johan yang sedang berlari. Dia hanya
menggeleng.
“Maaf, Bu. Kami terlambat
lagi. Insya’allah kami tidak akan
mengulanginya, Bu.”
“Ibu tahu kenapa kalian terlambat.
Jika kamu masih terlambat lagi, jangan mengucapkan kata Insya’allah lagi. Mengerti?”
Sedikit agak kebingungan, Hasan
menjawab dengan ragu-ragu. “Ba…baik Bu”
Mereka akhirnya masuk kelas dengan
kepala menunduk.
Sore
hari setelah mandi, Hasan pergi ke halaman rumahnya dan menyapu halaman. Setiap
hari memang banyak warga yang melihat Hasan menyapu, dan tidak jarang juga
mereka ikut membantu menyapu halaman rumah mereka masing-masing. Lama-kelamaan,
aktivitas kampung Hasan berubah. Setiap sore mereka selalu membersihkan
sekeliling kampung, seperti menyapu. Dan jika hari Minggu, warga-warga, dari
anak kecil sampai orang dewasa, mengikuti kerja bakti bersama, seperti
membersihkan jamban, membuang sampah yang berserakan di jalan atau di sungai, menanam
tumbuhan segar nan hijau, dan lain sebagainya. Kata para warga, semua ini
berkat tumbuhnya anak yang mampu merubah kampung itu menjadi bersih dan indah,
tidak lain yaitu Hasan.
Di Kampung Johan, juga
tidak kalah hebatnya. Kampung mereka memberikan penghargaan atas Johan yang
mampu mengubah sikap para warga untuk selalu mencintai lingkungan mereka.
Harapan Hasan dan Johan adalah, “Jika kita dapat menghijaukan bumi ini, maka
bumi juga akan menghijaukan jiwa kita”. Dan pekerjaan merekapun tidak sia-sia.
“Jadi,
kesimpulan dari acara pagi hari ini adalah, sesungguhnya manusia &
lingkungannya itu mempunyai hubungan timbal-balik yang begitu erat, layaknya
kita bercermin. Jika kita menyakiti atau merusak lingkungan kita, maka
lingkungan kitapun akan mencerminkan sifat kita tersebut. Terimakasih”
Tepuk
tangan yang meriah langsung memenuhi kelas Hasan dan Johan. Mereka diberi tugas
untuk mempresentasikan tugas yang berhubungan dengan Alam. Tidak hanya
kebersihan lingkungan yang mereka bicarakan, tetapi juga ilmunya yang bertambah
tentang maraknya Global Warming
menuntun mereka untuk membicarakan dan mengatasi hal tersebut. Berbagai upaya
telah dikerahkan oleh klub yang Hasan buat & ketuai, yaitu Klub ‘Hijaukan
Bumi Ini!’, untuk mencegah dan mengurangi polusi udara. Tapi banyak juga yang
kontra akan pelaksanaan tugas tersebut, yaitu mengganggu jadwal sekolah, selalu
dimarahi orang tua, tidak mendapatkan upah, dan hal lain yang akhirnya membuat
Klub tersebut dibubarkan. Sungguh lelahnya Hasan & Johan membuat orang sadar
akan pentingnya penghijauan di bumi ini
“Sampai sinikah perjuangan kita,
San?” Tanya Johan menyerah sambil bersandar di kursi kelas
“Nggak bisa, Han. Kita masih bisa melakukannya.
Walau dengan tangan kita sendiri.”
“Aku
akan membantu kalian!” Hasan dan Johan menoleh. Siska, teman sekelas mereka
yang cukup pendiam dan pintar, tiba-tiba mengubah suasana menjadi penuh
keheranan.
“Siska!?” Johan terheran-heran.
“Kenapa,
kaget? Aku ingin mempunyai banyak teman seperti kalian. Mungkin dengan
mengikuti klub ini, aku bisa bergaul dengan teman-teman yang lain dan, tentunya
membuat impian klub ini menjadi kenyataan.”
“Kami
akan menerimamu dengan senang hati, betulkan, Han!?” Tanya Hasan girang.
“I-i..iya. Dengan senang hati..” Johan tetap heran.
“Trimakasih..aku ingin membuktikan pada
mereka aku, ehm..maksudku kami dapat membuat klub ini sukses.”
“Kalau
begitu, kita harus membuat nama klub baru, dan visi-misi klub yang baru. Dan
semoga aja pengalaman dulu tak terulang kembali.” Kata Hasan semakin semangat.
“LET’S GO GREEN! Itu nama yang
keren untuk klub kita!” Johan memberi usul.
“Boleh juga! Aku sudah
memikirkan rencana awal nih, buat klub kita!” Siska menjawab.
“Gimana?”
Akhirnya istirahat mereka
diganti dengan keseriusan membuat rencana demi rencana, agar klubnya bisa berhasil
kembali menyadarkan dunia pentingnya kebersihan lingkungan bagi kehidupan..
Hari
demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun, klub yang telah diberi nama
‘LET’S GO GREEN’ telah meraup banyak anggota, dari kalangan anak SD sampai
teman-teman SMA-nya. Walaupun Hasan, Johan, dan Siska telah berbeda sekolah,
tetapi mereka sering berkumpul untuk membahas bersama kelanjutan dari Klub
LET’S GO GREEN tersebut. Hari ini, mereka sepakat untuk membahasnya di rumah
Siska.
“Sis, bagaimana laporan minggu ini?”
“Ehm,
sebentar” dia membuka tasnya dan mengambil sebuah buku kecil untuk mencatat apa-apa
saja yang terjadi selama klub itu berdiri, “Jumlah anggota minggu ini mencapai
529 anggota, 0 anggota yang keluar, dan..” tiba-tiba saja Johan menyela.
“Hey!!Ada sekelebat ide
tertangkap di otakku, guys!”
“Apaan
sih?!” Tanya wanita berkacamata itu sedikit sebal karena pembicaraannya
dipotong.
“Gimana kalau kita
memanfaatkan jejaring sosial di internet untuk mengiklankan klub kita ini, biar
anggota klub kita semakin bertambah! Dan tentu saja, semakin banyak anggota, semakin
banyak orang yang sadar akan pentingnya kebersihan lingkungan bagi kehidupan.
Setuju, nggak?”
“Betul
juga! Kenapa gak kepikiran sedari dulu, ya!”
“Kalau
gitu, aku ambilin laptopku dulu, ya!”
Kerja
keras mereka akhirnya membuahkan hasil. Dalam seminggu, grup mereka di jejaring
sosial seperi facebook, twitter, dan lain sebagainya beranggotakan 1000 orang.
Akhirnya, saat liburan, mereka bertiga membuat acara perkumpulan anggota klub
LET’S GO GREEN di Alon-Alon kota. Setelah semua berkumpul, anggota klub di bagi
menjadi 3 kelompok. Hasan, Johan, & Siska memberikan masing-masing
penyuluhan di tiap kelompok. Mereka sudah sangat fasih menyampaikan penyuluhan
tersebut. Tapi, saat semua kelelahan, anggota klub yang berasal dari kota-kota
lain mengeluh karena tidak adanya konsumsi. Kebingungan juga tiga sekawan itu
harus berbuat apa. Tidak mungkin jika semua konsumsi ditanggung mereka bertiga,
karena jumlah anggota yang datang sebanyak 110 orang! Setelah semua anggota
klub kecapekan, tanpa disadari ada seseorang yang muncul tiba-tiba.
“Aku bangga denga kalian,
anak-anakku.” Semuapun menoleh ke arahnya begitu juga Hasan, Johan, dan Siska.
“P..p…pa-pa..Pak
Walikota!”Johan yang pertama kali berseru dengan terbata-bata.
“Setelah
diberitahu ada keramaian apa di Alon-Alon Kota, akhirnya sayapun ikut melihat.
Sungguh kegiatan yang begitu mulia yang mampu dikerjakan oleh para siswa SMP
seperti kalian. Beberapa saat setelah itu, saya akhirnya memutuskan untuk
memberikan kalian..ehm, semacam pengganjal perut, agar tidak terlalu lapar.”
“Kami…kami
akan menerimanya dengan senang hati, Pak!” Johan menjawab. Semuapun tertawa.
Tanpa panjang-lebar lagi, Pak Walikota bersama para pengawalnya memberikan
sekardus makanan ringan dan minuman gelas.
Beberapa
menit kemudian setelah istirahat, Pak Walikota berniat untuk berbicara kepada
Hasan.
“Hey,
nak. Siapa namamu?“
Dengan
kagetnya, Hasan langsung membenarkan posisi duduknya. “Eh, saya Hasan, Pak. Eka
Surya Hasan.”
“Apakah
kamu ketua dari grup yang Hasan buat ini?”
“Ehm,
bisa dibilang begitu Pak.”
“Rencananya,
kami ingin mengundangmu untuk bepidato dalam acara rapat penghijauan kota untuk
mempresentasikan bagaimana kalian bisa membuat grup ini dari awal hingga sampai
pada saat ini. Mungkin ini juga bisa membantu perkembangan grup kalian ini.”
Pak Walikota tersenyum.
Hasanpun
tak bisa berkata apa-apa. Sungguh ajaibnya Hasan bisa berada disina, bertemu
Pak Walikota, dan diundang dalam rapatnya! Tapi, Hasan tetap berusaha tenang.
“Bolehkah
saya mengajak teman saya yang ada disana?” Sambil saya menunjuk Johan dan
Siska. Pak Walikota hanya mengangguk.
“Rapat
itu akan dilaksanakan 3 hari lagi. Jadi persiapkan dirimu dan teman-temanmu
sebaik mungkin, ya! Bapak tinggal dulu.” Akhirnya Pak Walikota menutup
pembicaraan dan pergi. Setelah itu, Hasan langsung memanggil teman-temannya dan
menceritakan semuanya. Johan dan Siska juga merasakan kekagetan yang dirasakan
Hasan. Tapi mau apalagi, nasi sudah menjadi bubur. Yang ada hanyalah mereka
harus mempersiapkan apa yang perlu digunakan saat presentasi, hanya dalam waktu
3 hari.
“Terima
kasih untuk semuanya, yang pertama bagi ibu saya, yang telah membimbing saya
dari kecil untuk menjadi anak yang cinta lingkungan seperti sekarang, adik saya
yang telah menghibur saya, teman-teman saya, Johan dan Siska, yang telah
mendukung saya membuat grup LET’S GO GREEN ini, dan semua yang bisa membuat
saya seperti ini. Sebelum saya menutup acara ini, saya ingin kalian bisa sadar,
bahwa lingkungan adalah tempat anda bisa melakukan aktivitas di dunia ini. Jika
lingkungan ini rusak, maka pastilah aktivitas anda juga akan terganggu. Maka,
di setiap Anda mempunyai kesempatan bersihkanlah, hijaukanlah, dan asrikanla
lingkungan sekitar Anda, dan itu akan berguna bagi masa depan Anda, dan masa
depan semua makhluk hidup di dunia ini. LET’S GO GREEN!” setelah itu tepuk
tangan yang meriah memenuhi ruangan. Ibu Hasan menangis terharu melihat Hasan
yang masih berumur 13 tahun mampu berpidato di depan Bapak Walikota. Johan dan
Siska juga tak kalah meriah bertepuk tangan di samping Hasan. Pak Walikota
hanya tersenyum dan tepuk tangan. Guru-guru Hasanpun juga hadir dan tepuk
tangan yang sangat meriah. Setelah turun dari panggung Hasan langusng memeluk
ibunya.
“Bu, ini semua kupersembahkan hanya
untuk, Ibu. Hanya untuk Ibu.”
“Semoga Bapakmu juga dapat bangga
diatas sana, San.”
Kamipun
menangis bersama dalam pelukan. Tepuk tangan masih tetap meriah terdengar oleh
Hasan. Bermula dari mencintai lingkungan, dan berakhir dengan tetap mencintai
lingkungan. Lingkungan yang bersih juga dapat membuat hati, jiwa, dan pikiran
kita menjadi bersih.
~SELESAI~