Ini adalah sebuah cerita karanganku sekitar 1 tahun yang lalu, saat aku mengikuti lomba menulis cerita. Karena saya tidak lolos, maka dari itu saya share saja cerita saya kesini. SELAMAT MEMBACA!!! ^^b
“Iya, anakku. Apapun permintaanmu
akan kuturuti.”
“YEE!!Makasih Ayah!”
Ibu dan Kakakku tersenyum.
Hari-hari yang kulewati
selama hampir 7 tahun ini adalah hari
yang menyenangkan. Selalu ada senyum tersungging di wajah kami. Dalam keadaan
apapun, dimanapun, kapanpun, kami selalu menghadapinya dengan senyuman. Tapi
entah bermula dari mana, hidupku mulai hancur. Aku merasa telah mati dan hidup
kembali dengan keadaan yang sangat berbeda. Hanya ada satu pertanyaan hati yang
terlintas padaku waktu itu,”Ada apa ini sebenarnya?”
Malam hari, sekitar pukul 10 malam, saat itu aku masih belum bisa tidur, aku masih teringat betapa serunya bermain dengan permainan-permainan yang asyik di pameran tadi. Aku ingin mencobanya berkali-kali, berpuluh-puluh kali, sampai aku merasa puas dan lelah. Sambil memeluk gulingku, tiba-tiba saja aku mendengar tangisan ibuku di depan kamarku. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tanpa berpikir panjang, aku keluar kamarku dengan suara pelan. Ku mencoba memasang telingaku baik-baik, dan akhirnya sampailah aku di depan pintu kamar orang tuaku.
Malam hari, sekitar pukul 10 malam, saat itu aku masih belum bisa tidur, aku masih teringat betapa serunya bermain dengan permainan-permainan yang asyik di pameran tadi. Aku ingin mencobanya berkali-kali, berpuluh-puluh kali, sampai aku merasa puas dan lelah. Sambil memeluk gulingku, tiba-tiba saja aku mendengar tangisan ibuku di depan kamarku. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tanpa berpikir panjang, aku keluar kamarku dengan suara pelan. Ku mencoba memasang telingaku baik-baik, dan akhirnya sampailah aku di depan pintu kamar orang tuaku.
“Maafkan aku, sayang. Aku…aku…tak
sengaja”
Ibuku terisak sambil
memegangi pipinya “Maaf…MAAF KATAMU!!Aku sudah tau lama berita ini, sayang.
Tapi kenapa kamu tak mau jujur! Aku sudah bosan kau jadikan permainan”
Menghampiri laci dan mengambil sebuah dokumen “Ini, besok kita harus ke KUA,
tepat setelah kau harus bersiap pindah dari sini. Dan satu lagi, jangan pernah
lagi menemui, atau menyentuh anak-anakku lagi, untuk selamanya!”
“Tapi..tapi”
masih terbata-bata dengan tangan kanan bergetar
“Kita
tidak mungkin bisa bersama, sayang. Aku ingin merasa tenang hidup di dunia ini
bersama anak-anakku”
“Aku
tidak bisa meninggalkanmu dengan keadaan seperti ini, sayang. Kita tidak boleh
berpisah”
“Aku yang merasakannya, dan aku yang
menanggungnya. Walaupun dengan taruhan mati”
Mendengar kata “mati”, tanpa sadar aku meloncat kaget ke arah belakang dan menyenggol vas bunga milik ibukku yang ada di laci dekatku.
PRAANG!
Mendengar kata “mati”, tanpa sadar aku meloncat kaget ke arah belakang dan menyenggol vas bunga milik ibukku yang ada di laci dekatku.
PRAANG!
Kedua orang tuaku terperanjat kaget
dan segera keluar kamar.
Aku tidak tahu apa yang harus
kulakukan. Tiba-tiba saja ada seseorang yang menyeretku ke belakang dengan
cepat.
“Kakak, kenapa kakak ada disini?”
“Suuut. Diamlah sebentar!”
“Kakak, kenapa kakak ada disini?”
“Suuut. Diamlah sebentar!”
Saat pintu terbuka, aku dan kakakku
sudah berada di kamarku. Yang ada hanyalah orang tuaku kebingungan dan
mencari-cari siapa yang memecahkan vas bunga tersebut.
Masih terdiam, aku menghampiri kasurku dan menangis. Kakakku hanya mampu melihatku dengan keprihatinan.
Masih terdiam, aku menghampiri kasurku dan menangis. Kakakku hanya mampu melihatku dengan keprihatinan.
“Aku tau apa yang kau rasakan,
dik..Tapi kau masih belum..”
“Dan aku juga tau apa yang kau rasakan, kak”Sahutku
“Dan aku juga tau apa yang kau rasakan, kak”Sahutku
Tiba-tiba
ibu membuka pintu kamarku. Dan kamipun
terdiam
Akulah yang pertama membuka pembicaraan “Kak, Bu, pergilah. Aku ingin sendiri
Akulah yang pertama membuka pembicaraan “Kak, Bu, pergilah. Aku ingin sendiri
sekarang” merekapun menurutiku.
Aku merasakan semua terjadi begitu cepat. Tak ada lagi kenangan indah yang akan terukir lagi di keluarga ini, pikirku. Aku juga berpikir apakah kakakku juga bersedih seperi aku. Aku ingin kejadian ini hanyalah mimpi, mimpi terburuk dalam hidupku.
Aku merasakan semua terjadi begitu cepat. Tak ada lagi kenangan indah yang akan terukir lagi di keluarga ini, pikirku. Aku juga berpikir apakah kakakku juga bersedih seperi aku. Aku ingin kejadian ini hanyalah mimpi, mimpi terburuk dalam hidupku.
Keesokan harinya, semua keluargaku
berkumpul di depan rumah, hanya untuk menyaksikan kepergian ayahku, pergi, dan
mungkin tak pernah kembali.
Setelah mengucapkan salam perpisahan
dan pergi, tiba-tiba saja ayahku berlari ke arahku dan kakakku.
“Maafkan ayah, anakku. Ayah tak bisa
mendidikmu dengan baik. Jagalah ibumu sebaik mungkin, jika sampai ayah bisa
kembali lagi ke sini.”
Entah kenapa saat itu kami begitu emosi terhadap ayahku, walaupun dalam hati ingin agar dia tidak pergi. Dan terakhir, kecupan yang hangat mendarat di kening kami.
Entah kenapa saat itu kami begitu emosi terhadap ayahku, walaupun dalam hati ingin agar dia tidak pergi. Dan terakhir, kecupan yang hangat mendarat di kening kami.
Ibuku hanya bisa bersedih dengan keadaan seperti ini. Aku
dan kakakku yang berselisih umur 4 tahun hanya bisa berdiri terpaku, diam,
& menunggu keajaiban datang. Tapi, ayahku tetap saja pergi tanpa menoleh
kembali menatapku. Dan mungkin kecupan kening itu adalah kenangan indah
terakhirku bersama seorang Ayah…
6 tahun kemudian…
“Bu, aku berangkat!”
“Gak sarapan dulu, le?”
“Gak sarapan dulu, le?”
“Gak”
Begitu cepatnya kakakku menghilang
di balik pintu
“Gilang!Gilang!”
Sunyi. Tak ada jawaban.
“Gilang!Gilang!”
Sunyi. Tak ada jawaban.
Aku
yang duduk berseberangan dengan ibuku di meja makan, melihat ia menitikkan
setetes air mata kesedihan. Dan itu sering terjadi bila kami membantah atau
melawan ibu kami. Dan baru kali ini aku inginmengungapkan isi hatiku kepada ibu.
“Ehm…bu..Ibu gak apa-apa
kan?”tanyaku ragu-ragu
Sedikit kaget ibuku mengusapkan air
matanya, “eh, Gak apa-apa kok, le..dah
berangkat sana, kih. Nanti telat lho”
“Bu..”
“Apa, le?’
“Aku..aku…ehm, aku minta maaf ya,
Bu. Kalau aku punya banyak salah ke Ibu.”
Ibu memandangku dengan padangan heran. Dan mengalihkan pembicaraan.
Ibu memandangku dengan padangan heran. Dan mengalihkan pembicaraan.
“Rendy, hidup ini memang mempunyai
banyak pilihan, tetapi bagaimana kita bisa memilih pilihan yang baik untuk kita,
walaupun itu tidak nyaman, bukannya memilih pilihan yang nyaman, tapi berakibat
buruk bagi kita”
Ibuku sering membuat kata-kata
seperti itu dengan spontan. Hanya untuk memotivasiku, tapi kadang aku tidak tahu
makna yang tersirat dalam kata-kata tersebut.
“Tapi, Bu,...”
“Sudah..berangkat sekolah dulu sana.Ingat, time isn’t money, but time is anything,selalu hargai waktu yang kamu punyai, walaupun itu hanya sebentar.”
“Ya udah, Rendy berangkat dulu ya, Bu. Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumsalam”
“Tapi, Bu,...”
“Sudah..berangkat sekolah dulu sana.Ingat, time isn’t money, but time is anything,selalu hargai waktu yang kamu punyai, walaupun itu hanya sebentar.”
“Ya udah, Rendy berangkat dulu ya, Bu. Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumsalam”
Akhir-akhir ini, aku sering
memikirkan masalah-masalah yang dihadapi oleh ibuku. Sampai-sampai, aku tidak
berkonsentrasi saat pelajaran di sekolah berlangsung.
“Rendy, coba kerjakan soal ini di
depan!” Kata guruku mengagetkan. Langsung saja aku terbangun dari lamunanku.
“Rendy, ayo cepat kerjakan!”
“Rendy, ayo cepat kerjakan!”
Dengan
menyerah terpaksa aku maju dan mengerjakan soal di papan tulis sebisaku.
Tiba-tiba saja, keajaiban seperti muncul padaku. Aku merasa gampang menjawab
soal-soal di papan tulis mendengar penjelasan dari guruku. Setelah itu, aku
kembali ke tempat dudukku. Anehnya, wajah teman-temanku seperti kebingungan
melihatku. Trman sebangkupun akhirnya bertanya, “Bagaimana kau dapat
mengerjakan soal sesulit itu?” Serontak aku kaget mendengar pertanyaan dari
temanku. Dan aku menoleh kembali ke arah papan tulis, “Benarkah aku yang
mengerjakan soal itu?”
TET-TET-TEEET
Bel tanda istirahat akhirnya
berbunyi. Aku masih duduk terdiam dan terus memelototi ke arah papan tulis, “Bagaimana
aku bisa mengerjakannya?” , “Apa yang ada di otakku saat itu?” , “Apakah aku
sedang di hipnotis?”
Seseorang memegang pundakku.
“Rendy, maukah kamu mengikuti lomba Olimpiade tingkat kecamatan yang akan dilaksanakan besok lusa?” Tanya guruku dengan cepat dan sedikit serius
“Ap..apa Bu!?” dengan kagetnya aku menjawab
Seseorang memegang pundakku.
“Rendy, maukah kamu mengikuti lomba Olimpiade tingkat kecamatan yang akan dilaksanakan besok lusa?” Tanya guruku dengan cepat dan sedikit serius
“Ap..apa Bu!?” dengan kagetnya aku menjawab
“Iya, kamu maukan mengikuti lomba
Olimpiade itu? Aku melihat kau mempunyai, ehm, semacam bakat terpendam, dan
masiih sangat terpendam” Guruku meyakinkan.
“ehm,ee…akan kupikir-pikir dulu, Bu guru”sedikit bimbang aku menjawabnya.
“Kalau bisa secepatnya, ya. Kita tak punya banyak waktu untuk menunggu jawabanmu.”
“Ba..baik Bu.” Guruku langsung berbalik dan pergi. Aku masih saja kebingungan. Kenapa masalahnya semakin rumit. Hanya menjawab soal di papa tulis saja malah disuruh ikut lomba. Yah, aku belum pernah berpengalaman mengikuti event-event seperti itu. Apalagi dalam waktu yang sangat singkat!
“ehm,ee…akan kupikir-pikir dulu, Bu guru”sedikit bimbang aku menjawabnya.
“Kalau bisa secepatnya, ya. Kita tak punya banyak waktu untuk menunggu jawabanmu.”
“Ba..baik Bu.” Guruku langsung berbalik dan pergi. Aku masih saja kebingungan. Kenapa masalahnya semakin rumit. Hanya menjawab soal di papa tulis saja malah disuruh ikut lomba. Yah, aku belum pernah berpengalaman mengikuti event-event seperti itu. Apalagi dalam waktu yang sangat singkat!
TET-TET-TEET
Tak terasa bel berbunyi lagi. Akupun tetap duduk diam melamun di kelas sampai pelajaran usai.
Tak terasa bel berbunyi lagi. Akupun tetap duduk diam melamun di kelas sampai pelajaran usai.
Setelah
menceritakan semuanya kepada ibuku, ibuku memberi motivasi lebih untukku agar
semangat belajar dan selalu positive
thinking. akhirnya aku bersungguh-sungguh ingin mengikuti lomba tersebut.
Sampai malam hari jam 11 aku masih
belajar materi apa saja yang akan diperlombakan. Tiba-tiba kudengar sebuah suara
entah dari mana. Sedikit merinding, kuberanikan untuk mengikuti asal suara
tersebut. Setelah mencari-cari, dengan kagentya aku melihat sesosok bayangan
hitam mengendap-endap di tangga rumahku. Aku tak berani menjerit, ataupun
berlari. Aku hanya ingin saat itu aku pingsan. Tapi mataku tetap melotot ke
arahnya. Sampai kulihat bayangan itu semakin jelas, aku mulai mengetahui siapa
dia.
“Kak
Gilang?”
“Ren..Rendy!!Kenapa
kamu masih belum tidur!?” sambil menyembunyikan sesuatu di balik badannya.
Merasa tidak nyaman, akhirnya aku menanyakan apa yang disembunyikan olleh
kakakku.
“O..ohh,
Ini, ini..ee..”
“Bukankah itu nar..”
“Bukankah itu nar..”
Kakakku membungkam mulutku. Dan
akhirnya membawaku ke kamarnya. Dia menceritakan semua yang terjadi sebelum dia
kembali ke rumah. Aku merasakan banyak perbedaan yang terjadi pada kakakku,
selebihnnya sampai terjerumus ke bahaya narkoba. Akhirnya, ku beranikan diri untuk
membuat keadaan lebih tenang dan terlihat santai.
“Kak
Gilang sayang gak sama ibu?”
“Sayang dong, Ren..bercanda kamu.”
“Tapi apakah sayang kak Gilang bisa dibuktikan dengan memakai narkoba?”
“Aku..aku hanya…ingin” menunduk Kak Gilang menjawab
“Sayang dong, Ren..bercanda kamu.”
“Tapi apakah sayang kak Gilang bisa dibuktikan dengan memakai narkoba?”
“Aku..aku hanya…ingin” menunduk Kak Gilang menjawab
“Aku
apa, Kak!?” nadaku sedikit memaksa.
“AKU HANYA INGIN
MERASAKAN KEBEBASAN, REN! KAMU MASIH BELUM MENGERTI RASANYA KEHILANGAN AYAH
SELAMA BERTAHUN-TAHUN! YANG KAU TAU HANYALAH IBU, IBU, DAN IBU!” kata kakakku
emosi. Kaget juga aku mendengar perkataan kakakku. Rupanya masih ada rasa sedih
yang dirasakan Kak Gilang saat kepergian ayah kami. Dengan tetap bersikap
tenang, aku berusaha meyakinkan kakakku.
“Kak, hidup ini memang mempunyai banyak pilihan, tetapi bagaimana kita bisa memilih pilihan yang baik untuk kita, walaupun itu tidak nyaman, bukannya memilih pilihan yang nyaman, tapi berakibat buruk bagi kita.” Kaget bukan main aku bisa mengucapkan kata-kata itu dengan lancar, begitu juga kakakku. Sejenak kami terdiam. Akhirnya, aku angkat bicara.
“Kak, hidup ini memang mempunyai banyak pilihan, tetapi bagaimana kita bisa memilih pilihan yang baik untuk kita, walaupun itu tidak nyaman, bukannya memilih pilihan yang nyaman, tapi berakibat buruk bagi kita.” Kaget bukan main aku bisa mengucapkan kata-kata itu dengan lancar, begitu juga kakakku. Sejenak kami terdiam. Akhirnya, aku angkat bicara.
“Aku hanya ingin
keluarga kita bahagia seperti dulu, Kak. Walaupun tanpa Ayah, kita harus
membuktikan bahwa kita dapat berhasil tanpa kehadiran sesosok Ayah. Kau pasti
mengerti maksudku kan, Kak Lang?”
“Sudah malam, Ren. Sana, tidur dulu.
Jangan sampe’ terlambat ke sekolah.” Kata Kak Gilang mengalihkan pembicaraan.
“Tolong berpikir panjanglah, Kak. Ini
untuk masa depanmu…Dan untuk masa depan kita.”
Selesailah pembicaraan kami.
Selesailah pembicaraan kami.
Keesokan
harinya, terjadi perubahan pada kakakku. Tetapi, yang ini sangat berbeda. Hari
ini, Kakakku bisa lebih bangun pagi lebih awal dari sebelumnya, membantu ibuku,
dan membangunkanku agar tidak terlambat masuk sekolah.Saat aku menanyakan
keanehan kakakku, Kakakku hanya menjawab, “Bagaimanapun asal mulanya, semua
pasti akan berakhir dengan baik”
9
tahun kemudian…
CKIIITT!!!
Aku segera mengerem
mobilku dengan cepat. Aku tak tahu kalau tiba-tiba saja ada orang di depan
sana. Akhirnya, aku berniat keluar untuk minta maaf kepadanya. Sungguh tak
kusangka, aku melihat sosok Ayah melekat di tubuh pemulung itu bersama seorang
perempuan yang tak ku kenal.
“Pak, Bu, maaf. Saya
tak sengaja hampir menabrak kalian. Sekali lagi maafkan saya”
“Oh, gak apa-apa, le. Ini juga salah ka…”
“Oh, gak apa-apa, le. Ini juga salah ka…”
Tiba-tiba perkataan
pemulung itu berhenti saat wajah kami berhadapan, aku sangat tahu bahwa itu adalah
Ayah!
“Ayah..” seruku sedikit
ragu-ragu.
Bapak
itu akhirnya menoleh kesamping dan berlalu. Tapi aku tak menyerah, aku tetap
meyakinkan diriku bahwa itu adalah sosok wajah yang masih kuingat walaupun lama
tak bertemu.
“Kau..kau
Ayah kan?Ingat, Yah…Aku Rendy, Rendy!” Ku lihat berlinangan air mata telah
jatuh dari mata Ayahku.
“Maafkan
aku, nak. Aku bukan lagi sosok Ayah yang seperti dulu kau ingat. Aku tak bisa
menjadi panutanmu. Kau tak pantas memiliki orang tua sepertiku. Tolong nak,
tinggalkan aku sendirian. Pergilah..”
“Nggak,
Yah. Kau punya janji kepadaku, apapun permintaanku akan kau turuti Yah..TAPI
MANA!!?MANA JANJI AYAH YANG SELAMA INI HILANG!?” tak terasa setitik air mata
jatuh di pipiku. Ayah hanya terdiam sambil menangis. Tak ada jawaban darinya.
“Ibu..,
ibu telah meninggal 2 tahun yang lalu. Ibu divonis terkena kanker rahim. Aku
tak pernah tahu sejak kapan ibu mempunyai penyakit seperti itu,dan Ibu tidak
pernah bilang kepadaku.” Aku langsung teringat sesuatu. Ku ambil sesuatu dari
mobilku, dan menyerahkannya pada Ayahku, “Ini, surat terakhir yang dapat kau
baca dari Ibu.” Ayah dengan cepat membuka surat tersebut.
Untuk Rendy dan Gilangku sayang, dan untuk Ayah
tercinta,
Maaf untuk Rendy dan Gilang, Ibu gak bisa
menceritakan bahwa Ibu mempunyai penyakit ini. Ibu tak ingin jika kalian terus
memikirkan Ibu, dan melupakan masa depan kalian yang begitu cerah menanti. Dan
mungkin Ibu salah menulis surat ini, karena surat ini hanya mengundang
kesedihan di lubuk hati kalian.
Rendy, kau telah banyak belajar hari ini. Ibu tetap
ingin kau menjadi yang terbaik, walau Ibu sudah tiada nanti. Dan tetaplah
ingat, time isn’t
money, but time is anything, selalu hargai waktu yang kamu punyai, walaupun itu
hanya sebentar..
Gilang,
Ibu sangat menyukai perubahanmu. Kau mampu berubah dan belajar dari pengalaman.
Dan Ibu yakin, kau juga pasti akan mempunyai masa depan yang begitu cerah.
Dan
untuk Ayah, jika kau sudah kembali nanti, aku ingin kau sadar dan mengerti,
bahwa aku masih sangat mencintaimu. Aku begitu emosi dan melupakan kenangan
indah kita bersama. Tapi saat ini, aku ingin kau bisa menjaga anak-anak kita,
dan jangan telantarkan wanita yang telah mendampingimu sekarang, ajaklah dia.
Dan
kalian semua harus mengerti, keluarga itu tidaklah harus lengkap, yang
terpenting adalah bagaimana keluarga itu dapat membuat kenyamanan satu sama
lain, disitulah arti keluarga sebenarnya.
Salam hangat dan kecupan,
Terima kasih atas segalanya
Kami terdiam sejenak.
Sungguh kagetnya aku melihat tiba-tiba Ayahku bersujud menghadapku, menangis,
dan berkata, “Baiklah, anakku. Apapun permintaanmu sekarang, pasti akan
kuturuti”
Sungguh iba aku melihat
Ayahku bersujud menghadapku. Akhirnya, aku menariknya berdiri, dan tersenyum,
“Bagaimanapun asal mulanya, semua pasti akan berakhir dengan baik”
Tanpa berpikir panjang,
aku langsung memeluk erat Ayahku. Sudah lama aku tidak merasakan pelukan hangat
dari Ayahku. Wanita di samping Ayah hanya bisa tersenyum dan menangis.
“Sekarang, maukah Ayah
tinggal bersamaku”
“Gilang,”
“Dia sudah mempunyai istri dan membeli rumah baru, tapi tenang, rumahnya dekat dengan rumah kita.”
“Dia sudah mempunyai istri dan membeli rumah baru, tapi tenang, rumahnya dekat dengan rumah kita.”
“Kita?” Ayahku
mengulangi.
“Iya, aku ingin Ayah
bisa kembali menjadi anggota keluarga kami, dan..ehm...” aku menoleh kepada
wanita yang sedari tadi menemani Ayah, “Akan kami jadikan sebagai ibu tiri
kami”
Begitu tersentuhnya
Ayahku sampai-sampai dia memelukku kembali. Sungguh momentyang sangat berharga dan paling indah. Dan semoga ibuku diatas
sana juga dapat merasakan kebahagiaan ini…
Saat makan malam bersama, Ayahku
masih saja melamun. Aku dan Kakakku saling berpandangan.
“Kenapa, Yah? Kangen ya?”
Ayah hanya tersenyum. Ayah melihat
sekeliling, melihat foto keluarga, dan..
“Piala siapa saja itu?”
“Ya jelas pialanya Rendy, dong Yah.” Aku hanya tersenyum.
“Piala siapa saja itu?”
“Ya jelas pialanya Rendy, dong Yah.” Aku hanya tersenyum.
“Benarkah, Rendy?”
“Iya, Yah. Piala yang paling kiri
itu adalah piala yang paling berharga bagiku. Karena itu adalah asal mula aku
mengikuti berbagai lomba, dan itu kupersembahkan untukmu, Ayah.”
“Aku sangat bangga dengan Ibumu, Nak. Dia mampu membuktikan bahwa dia bisa mendidik anak-anak sendirian, dan selalu dapattersenyum di dunia ini.”
Sementara itu, wanita yang selalu mendampingi Ayahku hanya terdiam saja, dan merasa malu. Kakakku yang berbicara pertama dengannya.
“Aku sangat bangga dengan Ibumu, Nak. Dia mampu membuktikan bahwa dia bisa mendidik anak-anak sendirian, dan selalu dapattersenyum di dunia ini.”
Sementara itu, wanita yang selalu mendampingi Ayahku hanya terdiam saja, dan merasa malu. Kakakku yang berbicara pertama dengannya.
“Maukah Ibu menjadi anggota keluarga
kami?”
Dengan terharu, beliau menjawab,
“Dengan senang hati, Sayang”
Akhirnya, kami berpelukan bersama, dan itulah awal keluarga baru kami.
Dan aku berkata dalam hati, “Aku takkan melupakanmu, Ibu. Dan tunggu kami di yaumul qiyamat nanti..YOU ARE THE BEST MOM IN THE WORLD”
Akhirnya, kami berpelukan bersama, dan itulah awal keluarga baru kami.
Dan aku berkata dalam hati, “Aku takkan melupakanmu, Ibu. Dan tunggu kami di yaumul qiyamat nanti..YOU ARE THE BEST MOM IN THE WORLD”
~THE END~
0 komentar:
Posting Komentar